Kamis, 15 Desember 2016

makalah sosiologi

PERSPEKTIF TEORI  SOSIOLOGI
“ TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL dan TEORI KONFLIK”
   MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sosiologi
Dosen Pengampu : Suprihantiningsih, M.Si



                  
                       Disusun Oleh :
Abu Ya’la Al Muttaqi             (1501046005) 
Elya Sukmawati                      ( 1501046032 )

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
       2016

PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Sosiologi adalah studi ilmiah yang mengenai perilaku soaial dan kelompok manusia. Sosiologi terfokus pada hubungan sosial yang bagaimana hubungan tersebut memengaruhi perilaku orang-orang serta bagaimana masyarakat berekembang dan berubah. Sosiologi terpangku pada jenis pemikiran kritis dan unik.Sosiolog memandang masyarakat dengan berbagai cara. Beberapa sosiolog memandang dunia sebagai entitas yang stabil dan terus berjalan. Mereka terkesima dengan daya tahan keluarga, agama yang terorganisasi dan institusi sosial lainya. Sosiolog lainya melihat masyarakat terdiri atas banyak kelompok yang berkonflik, berkompetisi untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Bagi banyak sosiolog lainya, aspek yang paling memesona dari dunia sosial adalah interaksi rutin sehari-hari antara individu yang sering kali kita anggap sebagai sesuatu yang sudah selayaknya.[1]
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal bedasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur pembentukanya dan ruang lingkup apa yang dipandang secara rasional. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja konseptual sekumpulan asumsi,nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia hingga manghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu. Dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi. Dalam mengamati perubahan ekonomi, politik dan sosial, para teoritisi menggunakan berbagai label dan kategori teoritis yang berbeda untuk menggambarkan ciri-ciri dan struktur masyarakat lama yang telah runtuh dan tatanan masyarakat baru yang sedang terbentuk.[2] Untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas tentang fungsionalisme struktural dan teori konflik.

II.                Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Teori Fungsionalisme Struktural?
2.      Bagaimana Teori Fungsionalisme Struktural Menurut Robert Merton?
3.      Bagaimana Teori Fungsionalisme Struktural Menurut Talcolt Parsons?
4.      Apa yang dimaksud dengan Teori Konflik?
5.      Bagaimana Teori konflik menurut Dahrendorf?
6.      Bagaimana kritik utama dan upaya untuk menghadapinya?


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fungsional struktural
Teori Fungsional Struktural  termasuk dalam teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer, dkk. Teori konsensus memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan, dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan (equilibrating mechanism).
Teori fungsionalisme strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu ‘sistem’ interaksi antar manusia dengan berbagai institusinya, yang segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam masalah nilai dan norma.
Teori fungsionalisme struktural menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Durkheim, teori ini menggunakan analogi bahwa masyarakat sama dengan organisme, dimana setiap organ memiliki fungsi tertentu yang menjamin keberlanjutan masyarakat secara harmonis. Jika organisme harus dilihat secara keseluruhan, demikian juga dengan masyarakat, tidak bisa dilihat secara parsial.
Asumsi Teori Struktural Fungsional
1.      Masyarakat sebagai sistem sosial terdiri atas bagian-bagian (subsistem) yang terindependen. Masing-masing begian memeiliki fungsi-fungsi tertentu yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem keseluruhan.
2.      Setiap elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan denga fungsi-fungsi dan peranya terhadap sistem, serta dilihat apakah sistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem. Jadi, yang dilihat fungsi nyata, bukan fungsi seharusnya.
3.      Jika suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya , maka sistem tersebut dapat stabil.
4.      Masing-masing bagian (subsistem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, norma karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan (talcott parsons)
5.      Apabila terjadi disfungsi pada suatu bagian, akan terjadi kondisi abnormal, sehingga keadaan equilibrium terganggu (merton, 1957). Tetapi berfungsi atau disfungsinya suatu elemen sosial pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium baru dalam proses self regulation (mennel,1980).
6.      Masing-masing elemen sosial memiliki fungsi manifes dan fungsi laten.
Fungsi manifes adalah fungsi yang diharapakan, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dirancang, tidak diharapkan, atau tidak disadari. [3]

B.     Fungsionalisme struktural menurut Robert Merton
Meski Parsons adalah seorang fungsionalisme struktural yang sangat penting adalah muridnya, Robert Merton, yang menulis beberapa pernyataan terpenting tentang fungsionalisme struktural dalam sosiologi.
Merton mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstrim dan tak dapat dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme srtuktural. Dari awal Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat,dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktur fungsional tentu mencerminkan hal yang standar artinya terpola dan berulang. Di dalam pikiran Merton sasaran studi struktural fungsional antara lain: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya.
      Model struktural fungsional merton. Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural seperti yang dikembangkan  oleh antropolog seperti Malonowski dan Radcliffe Bron.
1.      Postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti menunjukan integrasi tingkat tinggi. Tetapi merton berpendapat bahwa meski hal ini mungkin benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tak dapat diperluas ke tingkat ke masyarakat yang lebih luas.
2.      Postulat kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas adalah bahwa tak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi positif. Contoh nasionalisme fanatik dapat menjadi sangat tidak fungsional dalam dunia yang mengembangbiakkan senjata nuklir.
3.      Postulat ketiga adalah tentang indispensability. Argumen ini adalah semua aspek masyarakat yang sudah baku tak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebgai satu-kesatuan. Postulat ini mengarah kepada pemikiran bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Tak ada struktur dan fungsi lain amanapun yang dapat bekerja sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Dengan mengikuti parson, titik Merton adalah bahwa kita sekurang-kurangnya ingin mengakui akan adanya berbagai alternatif srtuktur dan fungsional yang dapat ditemukan didalam masyarakat.
Merton berpendapat bahwa ketiga postulat fungsional itu bersandar pada pernyataan nonempiris, berdasarkan sistem teoritis abstrak. Menjadi tanggung jawab sosiolog untuk menguji setiap postulat itu secara empiris. Keyakinan Merton bahwa bukan pernyataan teoritis melainkan pengujian empiris yang penting untuk analisis funsional, mendorongnya mengembangkan “paradigma” analisis fungsional buatannya sendiri sebagai pedoman untuk mengintegrasikan teori dan riset empiris.  
 
C.     Fungsional struktural menurut Talcott Parsons
Parsons merupakan salah satu tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan sistem dalam sosiologi kontemporer. Suatu sistem, menurut parson , hanya bisa fungsional apabila semua persyaratan terpenuhi.[4] Selama hidupnya Parsons membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan karya yang belakangan. Fungsionalisme strukutural parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan terkenal dengan skema AGIL.[5]
AGIL
Suatu fungsi adalah suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahakan kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem.[6]
Menggunakan definisi tersebut,  Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem- adaptation (A), Goal attainment(G), Integration(I)dan Latensi(L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional ini dikenal sebegai skema AGIL.  Agar tetap bertahan, suatu sistem harus memiliki empat fungsi:[7]
1.      Adaptasi
Adaptasi merupakan  suatu kebutuhan sistem untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan lingkungan yang dihadapinya.  Lingkungan dapat berupa sosial maupun non sosial atau fisik.
Melalui adaptasi, sistem mampu menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkunganya serta mendistribusikan sumber-sumber ini ke dalam suatu sistem.


2.      Goal attainment (pencapaian tujuan)
Pencapaian tujuan merupakan prasyarat fungsional yang menentukan tujuan dan skala prioritas dari tujuan yang ada. Setiap orang bertindak selalu diarahkan oleh suatu pencapaian tujuan. Namun perhatian utama bukan terfokus pada tujuan pribadi individual, melainkan diarahkan pada tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial.
3.      Integrasi
Integrasi merupakan suatu kebutuhan sistem yang dapat mengkoordinasikan dan menciptakan kesesuaian antar bagian atau anggota dalam suatu sistem. Fungsi integrasi dapat terpenuhi apabila bagian atau anggota dalam suatu sistem berperan sesuai dengan fungsinya dalam satu keseluruhan. Agar sistem sosial berfungsi efektif sebagai satu kesatuan, harus terdapat paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara bagian atau individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi merujuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan. Ikatan emosional ini tidak boleh tergatung pada keuntungan yang diterima atau sumbangan yang diberikan untuk tercapaianya tujuan individu atau kolektif. Jika tidak, solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerja sama akan jauh lebih goyah sifatnya, karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi semata.
4.      Latensi (pemeliharaan pola)
Latensi adalah suatu sistem harus menyediakan, memelihara,dan memperbarui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu.[8]
Parsons mendesains skema AGIL ini digunakan untuk tingkat dalam sistem teoritisnya. Organisme perilaku adalah tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan dan merubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melakasanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponenya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk berindak.

Sistem tindakan
Bentuk menyeluruh sistem tindakan parsons merupakan sebuah sistem tingkatan analisis sosial.
Parsons mempunyai gagasan yang jelas mengenai tingkatan analisis sosial maupun mengenai hubungan antara berbagai tingkatan. Susunan hierarkisnya jelas, dan tingkat integrasi menurut sistem Parsons tejadi dalam dua cara:
Pertama, masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi.
Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya. [9]
Parsons menganalisis pendekatan struktural fungsionalis ada empat sistem tindakan:
Sistem sosial
            Konsep parsons tentang sistem sosial berawal pada interaksi tingkat mikro yaitu antara ego dan alter-ego yang didefisinikan sebagai bentuk sistem sosial paling mendasar. Parsons mendefisinikan sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisi. Definisi ini menetapkan sistem sosial menurut konsep-konsep kunci dalam karya parson yakni, aktor interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur.
Sistem kultural
            Kultural adalah kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan. Kultur menengai interaksi antara aktor, menginteraksi kepribadian, dan menyatukan sistem sosial. Sistem kultural tak semata-mata menjadi bagian sistem yang lain, melainkan mempunyai eksistensi yang terpisah dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol dan gagasan. Kultur dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi aktor, aspek-aspek sistem kepribadian yang sudah terinternalisasikan, dan pola yang sudah terlembagakan dalam sistem sosial.
Sistem kepribadian
            Sistem kepribadian tak hanya dikontrol oleh sistem kultural, tetapi juga sistem sosial. Meski begitu, kepribadian menjadi sistem yang independen melalui hubunganya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya sendiri dalam hal ini parsons menghubungkan sistem kepribadian dengan sistem sosial :
1.      Aktor harus belajar melihat dirinya sendiri menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat
2.      Peran yang diharapkan diletakan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual.
Organisasi perilaku
Organisme perilaku, meskipun ia memasukan organisme perilaku sebagai salah satu diantara empat sistem tindakan, parsons sedikit membicarakanya. Walaupun orgaisme perilaku itu didasarkan konstitusi genetik organisasinya dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual. Asumsi dasar dari teori struktural fungsionalis menurut parsons, yaitu bahwa masyarakat terintergrasikan atas dasar kesepakatan dari anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbadaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu yang secara fungsional terintergrasi dalam suatu keseimbangan. Prinsip pemikiran parsons mengenai fungsionalisme struktural secara umum bersifat general teori, artinya bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Hal ini berarti bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenataan sosial yang terkecil dan mendasar, terdiri dari alat ,tujuan, situasi dan norma sebagai unsurnya.
Inti pemikiran parson ditemukan didalam empat sistem tindakan ciptaannya. Dengan asumsi yang dibuat parson dalam sistem tindakannya kita berhadapan dengan masalah yang sangat diperhatikan parson dan telah menjadi sumber utama kritikan atas pemikirannya (schwanenberg,1971). Problem hobbessian tentang keteraturan yang dapat mencegah peran sosial semua lawan semua menurut (1937) tak dapat dijawab oleh filsuf kuno. Parson menemukan jawaban problem didalam fungsionalisme struktural dengan asumsi sebagai berikut:
1.      Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2.      Sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3.      Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4.      Sistem dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5.      Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6.      Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.
7.      Sistem cenderung menuju kearah pemeliharaan kesimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistemdari dalam.[10]
D.    Pengertian teori Konflik
Teori konflik yang muncul pada abad ke 18 dan 19 dapat dimengerti sebagai respons  dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrilisasi, sehingga kemunculan sosiologikonflik modern di amaerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflikdalam masyarakat amerika. Selain itu, teori sosiologi konflik adalah altematif dari ketidakpuaasan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.
Teori konflik dicetuskan oleh Karl Marx, dengan konsep Economic mode of production, untuk menghasilkan kelas yang mengeksploitasikan dan kelan yang tereksploitasi. Dalam teori konflik, masalah dominasi dan subordinasi menjadi pokok bahasan penting karena berasumsi bahwa aturan , norma dan nilai yang harus dianut masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma, aturan dari kelompok dominan yang memaksakanya kepada kelompok subordinat. Dengan pemaksaan nilai, norma, dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya.
Teori konfik ini menolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat selalu dilihat dalam suatu kondisi tidak seimbang atau tidak adil, dan keadilan atau keseimbangan dapat dicapai dengan menggunakan kekuatan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan. Dalam masyarakat industri kapitalis, marx dan engels menyebut para pengusaha sebagai kaum borjuise atau kapitalis, dan karyawan atau buruh sebagai kaum proletar yang tertindas. Keduanya bersifat antagonistik, yang pada akhirnya menyebabkan kaum proletar melakukan perlawanan dalam bentuk revolusi.
Asumsi teori Konflik
1.      Setiap orang (kelompok) memiliki kepentingan (interest) yang sering berbeda, bahkan bertentangan dengan orang (kelompok) lain dalam suatu masyarakat.
2.      Sekelompok orang memiliki kekuatan (power) yang lebih dibandingkan kelompok lainya, sehingga lebih mudah memenuhi interestnya dan bermuara pada ketidakadilan, serta menimbulkan kelompok yang mengekspoitasikan dan kelompok yang terekploitasi.
3.      Interest dan penggunaan kekuatan (power) untuk mencapai interest tersebut, ditimbulkan dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideology, sehingga ideologi yang berkembang adalah ideologi kelompok dominan.[11]




E.      Teori Konflik menurut Ralf dahrendorf

Karya Ralf Dahrendorf
Seperti para fungsionalis, teori-teori konflik di orientasikan kearah studi mengenai struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial.pada umumnya, teori tersebut sedikit lebih dari sekedar serngakaian pendirian teoritis yang kerap bertentangan secara langsung dengan pendirian-pendirian fungsionalis. Antitesis itu dicontohkan paling baik oleh karya Ralf Dahrendorf (1958,1959; lihat juga strasser dan Nollman,2005), saat ajaran-ajaran teori konflik dan fungsional dijajarkan. Bagi kaum fungsionalis, masyarakat statis atau paling jauh dalam keseimbangan yang bergerak, tatapi bagi Dahrendorf dan para teoritisi konflik, setiap masyarakat pada setiap titik tunduk kepada proses-proses perubahan. Dimana kaum fungsionalis menekan ketertiban masyarakat, para teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik ada pada setiap titik didalam sistem sosial. Kaum fungsionalis (atau setidaknya para fungsionalis awal) berargumen bahwa setiap unsur didalam masyarakat menyumbang bagi stabilitas; pencetus teori konflik melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang disintegrasi dan perubahan.
Kaum fungsionalis cenderung melihat masyarakat siikat bersama secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas bersama. Para teoritisi konflik melihat setiap ketertiban yang ada didalam masyarakat berasal dari pemaksaan sejumlah anggota masyarakat oleh orang-orang yang berada dipuncak. Sementara kaum fungsionalis terfokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai-nilai bersama masyarakat, para teoritisi konflik menekan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan didlam masyarakat.
Ralf  Dahrendorf (1959,1968) adalah pendukung utama pendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan oleh karna itu, teori sosiologis harus dipecahkan kedalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Para teoritisi konsensus harus mengkaji nilai integrasi didlam masyarakat,dan teoritisi konflik harus mengkaji konflik-konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga kesatuan masyarakat didalam menghadapi tekanan-tekanan itu, Dahrendorf menyadari bahwa masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus, keduanya merupakan prasyarat satu sama lain. Oleh karna itu, tidak akan ada konflik jika tika tidak ada konsensus yang mendahuluinya, contohnya, para ibu rumah tanga prancis tidak menyukai konflik dengan para pemain catur orang Chile karna diantra mereka tidak ada kontak, tidak ada integrasi sebelumnya yang berfungsi sebagai dasar bagi suatu konflik. Sebaliknya, konflik dapat menyebabkan konsensus dan integrasi. Contohnya, aliansi antara amerika serikat dan jepang yang berkembang setelah perang dunia ke II. [12]
Otoritas
      Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: “sumber struktur konflik harus dicari didalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukan”. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karna memusatkan perhatian kepada struktur berkala luas seperti peran otoritas itu, Dahrndorf di tentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada ciri-ciri sikologi individu yang menempati posisi itu. Tetapi, menurut Dahrendorf, orang yang melakukan pendekatan demikian bukanlah sosiolog.
      Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karna harapan dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karna ciri-ciri sikologis mereka sendiri. Seperti otoritas, harapan inipun melekat pada posisi, bukan padaorangnya. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum; mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka dibebaskan dari kontrol, ditentukan didalam masyarakat. Terakhir, karna otoritas adalan absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.
      Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karna ia terletak dalam posisi, bukan didalam diri orangnya. Karna itu seseorang yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas didalam lingkungan lain.begitu pula seseorang yang berada dalam posisi subordinat dalam satu kelompok, mungkin menempati posisi superordinat dalam kelompok lain. Ini berasal dari argumen Dahrendrof yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hirearki posisi otoritas. Karna masyarakat terdiri dari berbagai posisi, seorang individu dapat menepati posisi otoritas disatu unit dan menempati posisi yang subordinat di unit lain.
Kelompok, Konflik, dan Perubahan
Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok yang menjadi konsep dasar untuk menerangkan konflik yaitu:
1.      Kelompok semu (kuasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan.
2.      Kelompok kepentingan, kelompok ini adalah agen real dari konflik kelompok, dan kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau progam, dan anggota perorangan.
3.      Kelompok konflik, kelompok yang muncul dari berbagai jenis kelompok kepentingan
Aspek terakhir, teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini, Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran lewis coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebakan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, aka terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apapun ciri konflik, sosiologi harus membiasaka diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status qou.[13]

F.       KrtitikUtama dan Upaya untuk menghadapinya
Teori konflik telah dikritik dengan berbagi alasan. Miasalnya, teori ini diserang karna mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme struktural diserang karna mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik karna berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karna ideologi konserfatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsional struktural,teori konflik tergolong tertinggal perkembangannya. Teori ini hampir tak secanggih fungsionalisme, mungkin karna merupakan teori turunan.
     Teori konflik Dahrendorf menjadi subjek dari sejumlah analitis kritis, termasuk pemikiran kritis oleh Dahrendorf sendiri. Hasil analisi kritis itu sebagai berikut. pertama, model taksecara jelas mencerminkan pemikiran marxian seperti yang ia nyatakan. Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori konflik ini merupakan terjemahan yang tak memadai dari teori marxian kedalam sosiologi. kedua, seperti telah dicatat, teori konflik lebih banyak kesamaannya denagn fungsioanlisme struktural ketimbang dengan teori marxian. penekanan  Dahrendorh pada hal-hal seperti sistem (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa), posisi dan peran secara langsung mengaitkannya dengan fungsionalisme struktural. Akibatnya, teorinya menderita kekurangan yang sama dengan fungsioalisme struktural. Misalnya, konflik tampak muncul secara misteriusdari sistem yang sah (sebagaimana dalam fungsionalisme dtruktural). Selanjutnya, teori konflik menderita berbagai masalah konseptual dan logika sepertiyang dialami Fungsionalisme struktural.(misalnya, konsep yang samar-samar, tautologi). Ketiga, seperti fungsionalisme struktural, teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada kita untuk memahami pemikiran dan tindakan individu.
 Fungsionalisme dan teori konflik dahrendorf adalah tak memadai karena masing-masing hanya berguna untuk menerangkan sebagaian saja dari kehidupan sosial. Sosiologi harus mampu menerangkan ketertiban maupun konflik, struktur maupun perubahan. Fakta terakhir ini memotivasi beberapa upaya untuk mendamaikan teori fungsional dan teori konflik. Meski belum ada satu upaya konsiliasipun yang memuaskan, upaya itu sekurangnya mengesankan adanya semacam kesepakatan dikalangan sosiolog bahwa yang diperlukan adalah sebuah teori yang menerangkan baik konsensus maupun pertikaian. Tetapi tak semua teoretisi mencoba mendamaikan perspektif yang bertentangan ini. Dahrendorf misalnya, melihatnya sebagai perspektif alternatif yang digunakan menurut situasi. Menurut dahrendorf bila kita tetarik terhadap konflik kita dapat menggunakan teori konflik; bila kita ingin meneliti ketertiban kita harus menggunakan perspektif fungsional.[14]


           
















PENUTUP
Kesimpulan
Teori Fungsional Struktural  termasuk dalam teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer, dkk. Teori konsensus memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan, dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan (equilibrating mechanism). Teori fungsionalisme strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu ‘sistem’ interaksi antar manusia dengan berbagai institusinya, yang segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam masalah nilai dan norma. Teori fungsionalisme dicetuskan oleh robert merton dan talcolt parsons. Fungsionalisme struktural menurut Robert Merton mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstrim dan tak dapat dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme srtuktural. Dari awal Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat,dan kultur. Fungsional struktural menurut Talcott Parsons, ia membentuk sistem AGIL dan sistem tindakan. Asumsi dasar dari teori struktural fungsionalis menurut parsons, yaitu bahwa masyarakat terintergrasikan atas dasar kesepakatan dari anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbadaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu yang secara fungsional terintergrasi dalam suatu keseimbangan.
Teori konflik dicetuskan oleh Karl Marx, dengan konsep Economic mode of production, untuk menghasilkan kelas yang mengeksploitasikan dan kelan yang tereksploitasi. Dalam teori konflik, masalah dominasi dan subordinasi menjadi pokok bahasan penting karena berasumsi bahwa aturan , norma dan nilai yang harus dianut masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma, aturan dari kelompok dominan yang memaksakanya kepada kelompok subordinat. Dengan pemaksaan nilai, norma, dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya.














DAFTAR PUSTAKA

                  Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori sosiologi Modern, 2011, jakarta: Kencana Prenanda Media Group .

Ritzer, George, 2012, Teori sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir Postmodern, yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schaefer, Richard T, 2012, Sosiologi, Jakarta:Salemba Humanika.
Anwar, Yesmil, 2013, Sosiologi Untuk Universitas: Bandung, Refika Aditama.
Damsar, 2011, Pengantar Sosiologi Pendidikan: Jakarta, Kencana Prenada Media Grup.
Ritzer, George,2014,  Teori Sosiologi Modern: Jakarta, Kencana Prenada Media Grup.
Syam, Nina, 2012, Sosiologi sebagai akar ilmu komunikasi: Bandung, Simbiosa Rekatama Media.




[1] Richard T. Schaefer, sosiologi. (Jakarta, Salemba Humanika: 2012) hlm 15
[2] Yesmil Anwar, Sosiologi untuk Universitas, (Bandung, Refika Aditama: 2013)
[3] Nina Syam, sosiologi sebagai akar ilmu komunikasi, (Bandung, simbiosa rekatama media: 2012)
[4] Damsar, Pengantar sosiologi pendidikan,( Jakarta: kencana prenada media grup, 2011) hlm 44
[5] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, ( Jakarta, Kencana Prenadamedia Grup: 2014) hlm117
[6] George Ritzer, Teori sosiologi dari Sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir Postmodern , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) 408-409
[7] George Ritzer Dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: kencana prenada media group, 2011) hlm 121
[8] Damsar. Op.cit hlm 44-45
[9] George Ritzer, Ibid hlm 188
[10] George Ritzer Dan Douglas J. Goodman, ibid hlm 123
[11] Nina w. Syam, ibid hlm 35
[12] George Ritzer, ibid hlm 450-451
[13] George Ritzer, ibid,hlm. 151-152
[14]George Ritzer, Ibid Hlm 152-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar