PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI
“
TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL dan TEORI KONFLIK”
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Sosiologi
Dosen
Pengampu : Suprihantiningsih, M.Si
Disusun Oleh :
Abu Ya’la Al Muttaqi (1501046005)
Elya Sukmawati (
1501046032 )
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Sosiologi
adalah studi ilmiah yang mengenai perilaku soaial dan kelompok manusia.
Sosiologi terfokus pada hubungan sosial yang bagaimana hubungan tersebut
memengaruhi perilaku orang-orang serta bagaimana masyarakat berekembang dan
berubah. Sosiologi terpangku pada jenis pemikiran kritis dan unik.Sosiolog memandang
masyarakat dengan berbagai cara. Beberapa sosiolog memandang dunia sebagai
entitas yang stabil dan terus berjalan. Mereka terkesima dengan daya tahan
keluarga, agama yang terorganisasi dan institusi sosial lainya. Sosiolog lainya
melihat masyarakat terdiri atas banyak kelompok yang berkonflik, berkompetisi
untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Bagi banyak sosiolog lainya, aspek
yang paling memesona dari dunia sosial adalah interaksi rutin sehari-hari
antara individu yang sering kali kita anggap sebagai sesuatu yang sudah
selayaknya.[1]
Perspektif
merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal dengan
perspektif orang akan memandang sesuatu hal bedasarkan cara-cara tertentu, dan
cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarnya,
unsur-unsur pembentukanya dan ruang lingkup apa yang dipandang secara rasional.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual sekumpulan asumsi,nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia
hingga manghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu. Dalam
konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial
didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial
yang terjadi. Dalam mengamati perubahan ekonomi, politik dan sosial, para
teoritisi menggunakan berbagai label dan kategori teoritis yang berbeda untuk
menggambarkan ciri-ciri dan struktur masyarakat lama yang telah runtuh dan
tatanan masyarakat baru yang sedang terbentuk.[2]
Untuk lebih jelasnya makalah ini akan membahas tentang fungsionalisme
struktural dan teori konflik.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Teori Fungsionalisme Struktural?
2.
Bagaimana
Teori Fungsionalisme Struktural Menurut Robert Merton?
3.
Bagaimana
Teori Fungsionalisme Struktural Menurut Talcolt Parsons?
4.
Apa
yang dimaksud dengan Teori Konflik?
5.
Bagaimana
Teori konflik menurut Dahrendorf?
6.
Bagaimana
kritik utama dan upaya untuk menghadapinya?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fungsional struktural
Teori
Fungsional Struktural termasuk dalam
teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer, dkk. Teori konsensus memandang
masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berhubungan, dipelihara oleh suatu mekanisme keseimbangan (equilibrating
mechanism).
Teori
fungsionalisme strukturalisme melakukan analisis dengan melihat masyarakat
sebagai suatu ‘sistem’ interaksi antar manusia dengan berbagai institusinya,
yang segala sesuatunya disepakati secara konsensus, termasuk dalam masalah nilai
dan norma.
Teori
fungsionalisme struktural menekankan pada harmoni, konsistensi, dan
keseimbangan dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Durkheim, teori ini
menggunakan analogi bahwa masyarakat sama dengan organisme, dimana setiap organ
memiliki fungsi tertentu yang menjamin keberlanjutan masyarakat secara
harmonis. Jika organisme harus dilihat secara keseluruhan, demikian juga dengan
masyarakat, tidak bisa dilihat secara parsial.
Asumsi
Teori Struktural Fungsional
1.
Masyarakat
sebagai sistem sosial terdiri atas bagian-bagian (subsistem) yang
terindependen. Masing-masing begian memeiliki fungsi-fungsi tertentu yang
berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem keseluruhan.
2.
Setiap
elemen atau subsistem harus dikaji dalam hubungan denga fungsi-fungsi dan
peranya terhadap sistem, serta dilihat apakah sistem tersebut berfungsi atau
tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu subsistem.
Jadi, yang dilihat fungsi nyata, bukan fungsi seharusnya.
3.
Jika
suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya , maka sistem tersebut dapat
stabil.
4.
Masing-masing
bagian (subsistem) dalam suatu sistem, akan menyebabkan sistem dalam keadaan
equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, norma
karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan
(talcott parsons)
5.
Apabila
terjadi disfungsi pada suatu bagian, akan terjadi kondisi abnormal, sehingga
keadaan equilibrium terganggu (merton, 1957). Tetapi berfungsi atau
disfungsinya suatu elemen sosial pada akhirnya akan menghasilkan equilibrium
baru dalam proses self regulation (mennel,1980).
6.
Masing-masing
elemen sosial memiliki fungsi manifes dan fungsi laten.
Fungsi manifes
adalah fungsi yang diharapakan, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak
dirancang, tidak diharapkan, atau tidak disadari. [3]
B.
Fungsionalisme
struktural menurut Robert Merton
Meski
Parsons adalah seorang fungsionalisme struktural yang sangat penting adalah
muridnya, Robert Merton, yang menulis beberapa pernyataan terpenting tentang
fungsionalisme struktural dalam sosiologi.
Merton mengecam
beberapa aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstrim dan tak dapat
dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan
kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme srtuktural. Dari awal Merton
menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada
kelompok, organisasi, masyarakat,dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek
yang dapat dijadikan sasaran analisis struktur fungsional tentu mencerminkan
hal yang standar artinya terpola dan berulang. Di dalam pikiran Merton sasaran
studi struktural fungsional antara lain: peran sosial, pola institusional,
proses sosial, pola kultur, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial,
organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial,
dan sebagainya.
Model struktural fungsional merton. Merton
mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural seperti yang
dikembangkan oleh antropolog seperti
Malonowski dan Radcliffe Bron.
1.
Postulat
tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua
keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah fungsional
untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan masyarakat. Pandangan
ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti
menunjukan integrasi tingkat tinggi. Tetapi merton berpendapat bahwa meski hal
ini mungkin benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tak
dapat diperluas ke tingkat ke masyarakat yang lebih luas.
2.
Postulat
kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk
kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton
menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya dalam
kehidupan nyata. Yang jelas adalah bahwa tak setiap struktur, adat, gagasan,
kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi positif. Contoh nasionalisme
fanatik dapat menjadi sangat tidak fungsional dalam dunia yang mengembangbiakkan
senjata nuklir.
3.
Postulat
ketiga adalah tentang indispensability. Argumen ini adalah semua aspek
masyarakat yang sudah baku tak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga
mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat
sebgai satu-kesatuan. Postulat ini mengarah kepada pemikiran bahwa semua
struktur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Tak ada
struktur dan fungsi lain amanapun yang dapat bekerja sama baiknya dengan
struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Dengan mengikuti parson,
titik Merton adalah bahwa kita sekurang-kurangnya ingin mengakui akan adanya
berbagai alternatif srtuktur dan fungsional yang dapat ditemukan didalam
masyarakat.
Merton berpendapat bahwa ketiga postulat fungsional itu bersandar
pada pernyataan nonempiris, berdasarkan sistem teoritis abstrak. Menjadi
tanggung jawab sosiolog untuk menguji setiap postulat itu secara empiris.
Keyakinan Merton bahwa bukan pernyataan teoritis melainkan pengujian empiris
yang penting untuk analisis funsional, mendorongnya mengembangkan “paradigma”
analisis fungsional buatannya sendiri sebagai pedoman untuk mengintegrasikan
teori dan riset empiris.
C.
Fungsional
struktural menurut Talcott Parsons
Parsons
merupakan salah satu tokoh utama yang mempopulerkan pendekatan sistem dalam
sosiologi kontemporer. Suatu sistem, menurut parson , hanya bisa fungsional
apabila semua persyaratan terpenuhi.[4]
Selama hidupnya Parsons membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan
penting antara karya awal dan karya yang belakangan. Fungsionalisme strukutural
parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem
tindakan terkenal dengan skema AGIL.[5]
AGIL
Suatu
fungsi adalah suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahakan kepada pemenuhan
suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem.[6]
Menggunakan
definisi tersebut, Parsons yakin bahwa
ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem- adaptation (A), Goal
attainment(G), Integration(I)dan Latensi(L) atau pemeliharaan pola. Secara
bersama-sama, keempat imperatif fungsional ini dikenal sebegai skema AGIL. Agar tetap bertahan, suatu sistem harus
memiliki empat fungsi:[7]
1.
Adaptasi
Adaptasi
merupakan suatu kebutuhan sistem untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan lingkungan yang dihadapinya. Lingkungan dapat berupa sosial maupun non
sosial atau fisik.
Melalui
adaptasi, sistem mampu menjamin apa yang dibutuhkan dari lingkunganya serta
mendistribusikan sumber-sumber ini ke dalam suatu sistem.
2.
Goal
attainment (pencapaian tujuan)
Pencapaian
tujuan merupakan prasyarat fungsional yang menentukan tujuan dan skala
prioritas dari tujuan yang ada. Setiap orang bertindak selalu diarahkan oleh
suatu pencapaian tujuan. Namun perhatian utama bukan terfokus pada tujuan
pribadi individual, melainkan diarahkan pada tujuan bersama para anggota dalam
suatu sistem sosial.
3.
Integrasi
Integrasi
merupakan suatu kebutuhan sistem yang dapat mengkoordinasikan dan menciptakan
kesesuaian antar bagian atau anggota dalam suatu sistem. Fungsi integrasi dapat
terpenuhi apabila bagian atau anggota dalam suatu sistem berperan sesuai dengan
fungsinya dalam satu keseluruhan. Agar sistem sosial berfungsi efektif sebagai
satu kesatuan, harus terdapat paling kurang suatu tingkat solidaritas diantara
bagian atau individu yang termasuk didalamnya. Masalah integrasi merujuk pada
kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup yang menghasilkan
solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.
Ikatan emosional ini tidak boleh tergatung pada keuntungan yang diterima atau
sumbangan yang diberikan untuk tercapaianya tujuan individu atau kolektif. Jika
tidak, solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerja sama akan jauh lebih goyah
sifatnya, karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi semata.
4.
Latensi
(pemeliharaan pola)
Latensi
adalah suatu sistem harus menyediakan, memelihara,dan memperbarui baik motivasi
para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi
itu.[8]
Parsons
mendesains skema AGIL ini digunakan untuk tingkat dalam sistem teoritisnya. Organisme
perilaku adalah tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan dan merubah
lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melakasanakan fungsi pencapaian tujuan
dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk
mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan
bagian-bagian yang menjadi komponenya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan
fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai
yang memotivasi mereka untuk berindak.
Sistem tindakan
Bentuk
menyeluruh sistem tindakan parsons merupakan sebuah sistem tingkatan analisis
sosial.
Parsons
mempunyai gagasan yang jelas mengenai tingkatan analisis sosial maupun mengenai
hubungan antara berbagai tingkatan. Susunan hierarkisnya jelas, dan tingkat
integrasi menurut sistem Parsons tejadi dalam dua cara:
Pertama,
masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang
diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi.
Kedua, tingkat
yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya. [9]
Parsons
menganalisis pendekatan struktural fungsionalis ada empat sistem tindakan:
Sistem sosial
Konsep parsons tentang sistem sosial
berawal pada interaksi tingkat mikro yaitu antara ego dan alter-ego yang
didefisinikan sebagai bentuk sistem sosial paling mendasar. Parsons
mendefisinikan sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling
berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan
atau fisi. Definisi ini menetapkan sistem sosial menurut konsep-konsep kunci
dalam karya parson yakni, aktor interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan,
dan kultur.
Sistem kultural
Kultural adalah kekuatan utama yang
mengikat sistem tindakan. Kultur menengai interaksi antara aktor, menginteraksi
kepribadian, dan menyatukan sistem sosial. Sistem kultural tak semata-mata
menjadi bagian sistem yang lain, melainkan mempunyai eksistensi yang terpisah
dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol dan gagasan. Kultur dipandang sebagai
sistem simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi aktor,
aspek-aspek sistem kepribadian yang sudah terinternalisasikan, dan pola yang
sudah terlembagakan dalam sistem sosial.
Sistem
kepribadian
Sistem kepribadian tak hanya
dikontrol oleh sistem kultural, tetapi juga sistem sosial. Meski begitu,
kepribadian menjadi sistem yang independen melalui hubunganya dengan organisme
dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya sendiri dalam hal ini
parsons menghubungkan sistem kepribadian dengan sistem sosial :
1.
Aktor
harus belajar melihat dirinya sendiri menurut cara yang sesuai dengan tempat
yang didudukinya dalam masyarakat
2.
Peran
yang diharapkan diletakan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor
individual.
Organisasi
perilaku
Organisme
perilaku, meskipun ia memasukan organisme perilaku sebagai salah satu diantara
empat sistem tindakan, parsons sedikit membicarakanya. Walaupun orgaisme
perilaku itu didasarkan konstitusi genetik organisasinya dipengaruhi oleh
proses pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual. Asumsi dasar
dari teori struktural fungsionalis menurut parsons, yaitu bahwa masyarakat
terintergrasikan atas dasar kesepakatan dari anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tersebut yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbadaan
sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu yang secara fungsional
terintergrasi dalam suatu keseimbangan. Prinsip pemikiran parsons mengenai
fungsionalisme struktural secara umum bersifat general teori, artinya bahwa tindakan
individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Hal ini berarti bahwa tindakan itu
dipandang sebagai kenataan sosial yang terkecil dan mendasar, terdiri dari alat
,tujuan, situasi dan norma sebagai unsurnya.
Inti
pemikiran parson ditemukan didalam empat sistem tindakan ciptaannya. Dengan
asumsi yang dibuat parson dalam sistem tindakannya kita berhadapan dengan
masalah yang sangat diperhatikan parson dan telah menjadi sumber utama kritikan
atas pemikirannya (schwanenberg,1971). Problem hobbessian tentang keteraturan
yang dapat mencegah peran sosial semua lawan semua menurut (1937) tak dapat
dijawab oleh filsuf kuno. Parson menemukan jawaban problem didalam
fungsionalisme struktural dengan asumsi sebagai berikut:
1.
Sistem
memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2.
Sistem
cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3.
Sistem
mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4.
Sistem
dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
5.
Sistem
memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6.
Alokasi
dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara
keseimbangan sistem.
7.
Sistem
cenderung menuju kearah pemeliharaan kesimbangan diri yang meliputi pemeliharaan
batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan
untuk merubah sistemdari dalam.[10]
D.
Pengertian
teori Konflik
Teori
konflik yang muncul pada abad ke 18 dan 19 dapat dimengerti sebagai
respons dari lahirnya dual revolution,
yaitu demokratisasi dan industrilisasi, sehingga kemunculan sosiologikonflik
modern di amaerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas
konflikdalam masyarakat amerika. Selain itu, teori sosiologi konflik adalah
altematif dari ketidakpuaasan terhadap analisis fungsionalisme struktural
Talcott Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham
konsensus dan integralistiknya.
Teori konflik
dicetuskan oleh Karl Marx, dengan konsep Economic mode of production, untuk
menghasilkan kelas yang mengeksploitasikan dan kelan yang tereksploitasi. Dalam
teori konflik, masalah dominasi dan subordinasi menjadi pokok bahasan penting
karena berasumsi bahwa aturan , norma dan nilai yang harus dianut masyarakat
sesungguhnya merupakan nilai, norma, aturan dari kelompok dominan yang
memaksakanya kepada kelompok subordinat. Dengan pemaksaan nilai, norma, dan
aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang
menguntungkan kelompoknya.
Teori konfik
ini menolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan tidak
berubah. Sebaliknya, masyarakat selalu dilihat dalam suatu kondisi tidak
seimbang atau tidak adil, dan keadilan atau keseimbangan dapat dicapai dengan
menggunakan kekuatan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang
kekuasaan. Dalam masyarakat industri kapitalis, marx dan engels menyebut para
pengusaha sebagai kaum borjuise atau kapitalis, dan karyawan atau buruh sebagai
kaum proletar yang tertindas. Keduanya bersifat antagonistik, yang pada
akhirnya menyebabkan kaum proletar melakukan perlawanan dalam bentuk revolusi.
Asumsi teori
Konflik
1.
Setiap
orang (kelompok) memiliki kepentingan (interest) yang sering berbeda, bahkan
bertentangan dengan orang (kelompok) lain dalam suatu masyarakat.
2.
Sekelompok
orang memiliki kekuatan (power) yang lebih dibandingkan kelompok lainya,
sehingga lebih mudah memenuhi interestnya dan bermuara pada ketidakadilan,
serta menimbulkan kelompok yang mengekspoitasikan dan kelompok yang
terekploitasi.
3.
Interest
dan penggunaan kekuatan (power) untuk mencapai interest tersebut, ditimbulkan
dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideology, sehingga ideologi yang
berkembang adalah ideologi kelompok dominan.[11]
E.
Teori Konflik menurut Ralf dahrendorf
Karya Ralf
Dahrendorf
Seperti
para fungsionalis, teori-teori konflik di orientasikan kearah studi mengenai
struktur-struktur dan lembaga-lembaga sosial.pada umumnya, teori tersebut
sedikit lebih dari sekedar serngakaian pendirian teoritis yang kerap
bertentangan secara langsung dengan pendirian-pendirian fungsionalis. Antitesis
itu dicontohkan paling baik oleh karya Ralf Dahrendorf (1958,1959; lihat juga
strasser dan Nollman,2005), saat ajaran-ajaran teori konflik dan fungsional
dijajarkan. Bagi kaum fungsionalis, masyarakat statis atau paling jauh dalam
keseimbangan yang bergerak, tatapi bagi Dahrendorf dan para teoritisi konflik,
setiap masyarakat pada setiap titik tunduk kepada proses-proses perubahan.
Dimana kaum fungsionalis menekan ketertiban masyarakat, para teoritisi konflik
melihat pertikaian dan konflik ada pada setiap titik didalam sistem sosial.
Kaum fungsionalis (atau setidaknya para fungsionalis awal) berargumen bahwa
setiap unsur didalam masyarakat menyumbang bagi stabilitas; pencetus teori
konflik melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang disintegrasi
dan perubahan.
Kaum fungsionalis cenderung melihat masyarakat siikat bersama
secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas bersama. Para
teoritisi konflik melihat setiap ketertiban yang ada didalam masyarakat berasal
dari pemaksaan sejumlah anggota masyarakat oleh orang-orang yang berada
dipuncak. Sementara kaum fungsionalis terfokus pada kohesi yang diciptakan oleh
nilai-nilai bersama masyarakat, para teoritisi konflik menekan peran kekuasaan
dalam memelihara tatanan didlam masyarakat.
Ralf Dahrendorf (1959,1968)
adalah pendukung utama pendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik
dan konsensus) dan oleh karna itu, teori sosiologis harus dipecahkan kedalam
dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Para teoritisi konsensus harus
mengkaji nilai integrasi didlam masyarakat,dan teoritisi konflik harus mengkaji
konflik-konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga kesatuan masyarakat
didalam menghadapi tekanan-tekanan itu, Dahrendorf menyadari bahwa masyarakat
tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus, keduanya merupakan prasyarat satu
sama lain. Oleh karna itu, tidak akan ada konflik jika tika tidak ada konsensus
yang mendahuluinya, contohnya, para ibu rumah tanga prancis tidak menyukai
konflik dengan para pemain catur orang Chile karna diantra mereka tidak ada
kontak, tidak ada integrasi sebelumnya yang berfungsi sebagai dasar bagi suatu
konflik. Sebaliknya, konflik dapat menyebabkan konsensus dan integrasi.
Contohnya, aliansi antara amerika serikat dan jepang yang berkembang setelah
perang dunia ke II. [12]
Otoritas
Dahrendorf
memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah
gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas
yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam
posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada
konflik antara berbagai struktur posisi itu: “sumber struktur konflik harus
dicari didalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau
ditundukan”. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karna memusatkan
perhatian kepada struktur berkala luas seperti peran otoritas itu, Dahrndorf di
tentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada ciri-ciri sikologi
individu yang menempati posisi itu. Tetapi, menurut Dahrendorf, orang yang
melakukan pendekatan demikian bukanlah sosiolog.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah
unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan
superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan
mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karna harapan dari orang yang
berada disekitar mereka, bukan karna ciri-ciri sikologis mereka sendiri.
Seperti otoritas, harapan inipun melekat pada posisi, bukan padaorangnya.
Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum; mereka yang tunduk pada kontrol
dan mereka dibebaskan dari kontrol, ditentukan didalam masyarakat. Terakhir,
karna otoritas adalan absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang.
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan
karna ia terletak dalam posisi, bukan didalam diri orangnya. Karna itu
seseorang yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tak harus memegang
posisi otoritas didalam lingkungan lain.begitu pula seseorang yang berada dalam
posisi subordinat dalam satu kelompok, mungkin menempati posisi superordinat
dalam kelompok lain. Ini berasal dari argumen Dahrendrof yang menyatakan bahwa
masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu
yang dikontrol oleh hirearki posisi otoritas. Karna masyarakat terdiri dari
berbagai posisi, seorang individu dapat menepati posisi otoritas disatu unit
dan menempati posisi yang subordinat di unit lain.
Kelompok,
Konflik, dan Perubahan
Dahrendorf
membedakan tiga tipe utama kelompok yang menjadi konsep dasar untuk menerangkan
konflik yaitu:
1.
Kelompok
semu (kuasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama.
Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan.
2.
Kelompok
kepentingan, kelompok ini adalah agen real dari konflik kelompok, dan kelompok
ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau progam, dan anggota
perorangan.
3.
Kelompok
konflik, kelompok yang muncul dari berbagai jenis kelompok kepentingan
Aspek terakhir,
teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal
ini, Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran lewis coser yang memusatkan perhatian
pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Singkatnya, Dahrendorf
menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan
tindakan yang menyebakan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu
hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan
kekerasan, aka terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apapun ciri
konflik, sosiologi harus membiasaka diri dengan hubungan antara konflik dan
perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status qou.[13]
F.
KrtitikUtama
dan Upaya untuk menghadapinya
Teori konflik telah dikritik dengan berbagi alasan. Miasalnya,
teori ini diserang karna mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan
fungsionalisme struktural diserang karna mengabaikan konflik dan perubahan.
Teori konflik juga dikritik karna berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme
dikritik karna ideologi konserfatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsional
struktural,teori konflik tergolong tertinggal perkembangannya. Teori ini hampir
tak secanggih fungsionalisme, mungkin karna merupakan teori turunan.
Teori konflik Dahrendorf
menjadi subjek dari sejumlah analitis kritis, termasuk pemikiran kritis oleh
Dahrendorf sendiri. Hasil analisi kritis itu sebagai berikut. pertama, model
taksecara jelas mencerminkan pemikiran marxian seperti yang ia nyatakan.
Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori konflik ini merupakan terjemahan
yang tak memadai dari teori marxian kedalam sosiologi. kedua, seperti telah
dicatat, teori konflik lebih banyak kesamaannya denagn fungsioanlisme
struktural ketimbang dengan teori marxian. penekanan Dahrendorh pada hal-hal seperti sistem
(asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa), posisi dan peran secara langsung
mengaitkannya dengan fungsionalisme struktural. Akibatnya, teorinya menderita
kekurangan yang sama dengan fungsioalisme struktural. Misalnya, konflik tampak
muncul secara misteriusdari sistem yang sah (sebagaimana dalam fungsionalisme
dtruktural). Selanjutnya, teori konflik menderita berbagai masalah konseptual
dan logika sepertiyang dialami Fungsionalisme struktural.(misalnya, konsep yang
samar-samar, tautologi). Ketiga, seperti fungsionalisme struktural, teori
konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali
yang ditawarkan kepada kita untuk memahami pemikiran dan tindakan individu.
Fungsionalisme dan teori
konflik dahrendorf adalah tak memadai karena masing-masing hanya berguna untuk
menerangkan sebagaian saja dari kehidupan sosial. Sosiologi harus mampu
menerangkan ketertiban maupun konflik, struktur maupun perubahan. Fakta
terakhir ini memotivasi beberapa upaya untuk mendamaikan teori fungsional dan
teori konflik. Meski belum ada satu upaya konsiliasipun yang memuaskan, upaya
itu sekurangnya mengesankan adanya semacam kesepakatan dikalangan sosiolog
bahwa yang diperlukan adalah sebuah teori yang menerangkan baik konsensus
maupun pertikaian. Tetapi tak semua teoretisi mencoba mendamaikan perspektif
yang bertentangan ini. Dahrendorf misalnya, melihatnya sebagai perspektif
alternatif yang digunakan menurut situasi. Menurut dahrendorf bila kita tetarik
terhadap konflik kita dapat menggunakan teori konflik; bila kita ingin meneliti
ketertiban kita harus menggunakan perspektif fungsional.[14]
PENUTUP
Kesimpulan
Teori Fungsional Struktural
termasuk dalam teori konsensus, yang dipelopori oleh Herbert Spencer,
dkk. Teori konsensus memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling berhubungan, dipelihara oleh suatu mekanisme
keseimbangan (equilibrating mechanism). Teori fungsionalisme strukturalisme
melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai suatu ‘sistem’ interaksi
antar manusia dengan berbagai institusinya, yang segala sesuatunya disepakati
secara konsensus, termasuk dalam masalah nilai dan norma. Teori fungsionalisme
dicetuskan oleh robert merton dan talcolt parsons. Fungsionalisme struktural
menurut Robert Merton mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural yang
lebih ekstrim dan tak dapat dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual
barunya membantu memberikan kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme
srtuktural. Dari awal Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional
memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat,dan kultur.
Fungsional struktural menurut Talcott Parsons, ia membentuk sistem AGIL dan
sistem tindakan. Asumsi dasar dari teori struktural fungsionalis menurut
parsons, yaitu bahwa masyarakat terintergrasikan atas dasar kesepakatan dari
anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tersebut yang mempunyai kemampuan
mengatasi perbedaan-perbadaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai
suatu yang secara fungsional terintergrasi dalam suatu keseimbangan.
Teori
konflik dicetuskan oleh Karl Marx, dengan konsep Economic mode of production,
untuk menghasilkan kelas yang mengeksploitasikan dan kelan yang tereksploitasi.
Dalam teori konflik, masalah dominasi dan subordinasi menjadi pokok bahasan
penting karena berasumsi bahwa aturan , norma dan nilai yang harus dianut
masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma, aturan dari kelompok dominan
yang memaksakanya kepada kelompok subordinat. Dengan pemaksaan nilai, norma,
dan aturan tersebut, kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang
menguntungkan kelompoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman, Teori sosiologi Modern, 2011, jakarta: Kencana Prenanda Media
Group .
Ritzer,
George, 2012, Teori sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan
terakhir Postmodern, yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schaefer,
Richard T, 2012, Sosiologi, Jakarta:Salemba Humanika.
Anwar,
Yesmil, 2013, Sosiologi Untuk Universitas: Bandung, Refika Aditama.
Damsar,
2011, Pengantar Sosiologi Pendidikan: Jakarta, Kencana Prenada Media
Grup.
Ritzer,
George,2014, Teori Sosiologi Modern:
Jakarta, Kencana Prenada Media Grup.
Syam, Nina, 2012, Sosiologi sebagai akar ilmu komunikasi:
Bandung, Simbiosa Rekatama Media.
[1] Richard
T. Schaefer, sosiologi. (Jakarta, Salemba Humanika: 2012) hlm 15
[2] Yesmil
Anwar, Sosiologi untuk Universitas, (Bandung, Refika Aditama: 2013)
[3] Nina
Syam, sosiologi sebagai akar ilmu komunikasi, (Bandung, simbiosa rekatama
media: 2012)
[4] Damsar, Pengantar
sosiologi pendidikan,( Jakarta: kencana prenada media grup, 2011) hlm 44
[5] George
Ritzer, Teori Sosiologi Modern, ( Jakarta, Kencana Prenadamedia Grup: 2014)
hlm117
[6] George
Ritzer, Teori sosiologi dari Sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir
Postmodern , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) 408-409
[7] George
Ritzer Dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: kencana
prenada media group, 2011) hlm 121
[8] Damsar. Op.cit
hlm 44-45
[9] George
Ritzer, Ibid hlm 188
[10] George
Ritzer Dan Douglas J. Goodman, ibid hlm 123
[11] Nina w.
Syam, ibid hlm 35
[12] George
Ritzer, ibid hlm 450-451
[13] George
Ritzer, ibid,hlm. 151-152
[14]George
Ritzer, Ibid Hlm 152-153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar